Rabu, 14 November 2018

Ayah Tak Di Kenal



Ayah Tak Dikenal

AYAH, sesosok yang tidak pernah bahkan mungkin tidak akan pernah aku kenal. Sejak kecil ku tak pernah tahu seperti apa ayahku, bertahun-tahun ku menunggu akan kehadiran sesosok laki-laki yang dulu kuharapkan menjadi laki-laki pertama yang aku kenal, tapi sepertinya sosok itu tak akan pernah muncul di hadapanku…dan selamanya juga aku tak akan pernah punya sosok yang bisa aku panggil AYAH.
Ku lihat teman-teman yang lain bahagia dengan ayahnya. Bercanda bersama, tertawa bersama, aku pun terdiam dalam lamunan, dalam benak ku bertanya-tanya siapa dan dimana ayahku.
Sebenarnya amat sangat sulit untuk ku meredakan keinginan tuk merengkuh seseorang yang hanya berputar-putar dalam angan.
Saat itu ku lihat ibu sedang bekerja keras sendirian mencari uang demi menghidupi anak-anaknya, kemudian kudekati ibu dan bertanya-tanya kepada ibu.
“Bu, kenapa ibu selalu sendirian mencari uang, dimana ayah bu? Tanyaku dengan rasa penasaran
“Ayahmu sedang mengaji nak” jawab ibu
“Ngaji dimana bu, kok nggak pulang-pulang? Tanyaku heran
“Ayahmu sedang ngaji di tempat yang jauh” kata ibu
“Kapan ayah pulang bu, aku ingin tahu seperti apa ayahku bu”
“Ayahmu tidak akan pulang lagi nak, ayahmu sudah senang dan bahagia disana” kata ibu
“Apa ibu punya foto ayah? Tanyaku
“Dulu punya, tapi sudah hilang” kata ibu
“Nak, meskipun ayah tidak ada disamping kita, tapi kita jangan lupa mendo’akannya yah nak”
“Iya bu, aku akan selalu mendo’akannya” jawabku dengan lugunya.
Setiap ku bertanya tentang ayah pasti ibu selalu menjawab dengan jawaban yang sama. Meski betapa ingin aku bercakap-cakap dengan ayah, duduk bersama, bercanda bersama, tertawa bersama, tetap saja itu hanya seberkas cahaya yang bersinar redup jauh dalam lubuk hati.
Saat ku beranjak ke kelas 4 SD, dengan mata berlinang air mata, ibuku menceritakan segalanya tentang ayah.
“Nak, sini ibu mau ngomong” panggil ibu
“Iya bu” sahutku
“Nak, sebenarnya ayah kamu itu sudah tiada sejak kamu masih berumur 8 bulan” kata ibu
Aku tak kuasa menahan air mataku saat mendengarkan cerita ibu.
“Dulu ayah kamu meninggal karena penyakit komplikasi saat kakak-kakakmu masih kecil-kecil” cerita ibu sambil meneteskan air mata.
Aku hanya bisa diam dan menangis mendengar semua cerita ibu.
“Sudah kamu jangan menangis lagi, yang penting kamu jangan lupa untuk selalu mendo’akan ayahmu nak” pinta ibu.
“Lalu dimana makam ayah bu? Tanyaku
“Ayahmu dimakamkan di Lampung, nak”
“Lho kok di Lampung bu”
“Iya nak, dulu rumah kita kan di Lampung, tapi setelah ayahmu tiada, ibu sama kakak-kakakmu pindah ke jawa ke rumah orang tua ibu, waktu itu kamu masih bayi nak” jelas ibu.
Aku pun mengangguk dalam kesedihan yang tak berujung, serasa tercabik-cabik hati ini saat mendengar bahwa ayah telah tiada.
Beberapa hari kemudian, ku lihat ibu sedang menyapu halaman, kudekati ibu untuk meminta izin untuk menuntut ilmu di pesantren.
“Bu, aku mau minta izin untuk mencari ilmu di pesantren, boleh bu”
“Apa kamu yakin ingin ke pesantren, nak, kamu kan masih kecil, terus sekolah kamu gimana? Tanya ibu
“Iya bu, aku sudah yakin bu, aku ingin belajar ilmu agama sejak kecil bu, biar besok kalau sudah besar bisa selalu kirim do’a buat ibu dan ayah, disana juga bisa sambil sekolah bu”
“Pesantren mana nak? Tanya ibu
“Cilacap bu” jawabku
“Iya boleh, mau berangkat kapan, nak? Tanya ibu
“Besok bu” jawabku
“Iya besok minta antar pamanmu yah” kata ibu
“Salim besok antarkan Udin ke pesantren bisa nggak? Tanya ibu ke paman
“Insya allah bisa mba, pesantren mana mba? Tanya paman Salim
“Cilacap Lim” jawab
Keesokan harinya aku di antar paman ke pesantren.
“Bu, aku pamit dulu yah bu” kataku sambil mencium tangan ibu.
“Iya nak, hati-hati disana yah nak, jangan nakal, nurut sama pak yai nanti yah, ibu do’akan semoga kamu jadi anak yang soleh, berbakti kepada orang tua”
“Amiin, terimakasih bu atas do’anya”
“Assalamu’alaikum bu”
“Wa’alaikumsalam”
Sesampainya di pesantren, paman langsung menuju tempat pendaftaran santri baru. Setelah beberapa menit kemudian paman selesai mendaftarkanku dan mengantar ke kamar yang akan aku tempati.
“Kamu baik-baik disini yah, jangan nakal, nurut sama pak yai dan pengurus disini yah, paman mau pulang dulu” kata paman
“Iya paman, terimakasih” kataku sambil mencium tangan paman.
Saat hari pertama di pesantren aku mulai berkenalan dengan teman-teman.
“Hai, namaku Andi, nama kamu siapa? Tanya Andi
“Namaku Udin” jawabku malu
Setiap malam aku masih teringat dengan ibu di rumah, kadang masih suka nangis diam-diam. Masih malu-malu untuk bergaul dengan teman yang lain, mau makan ataupun jajan juga masih malu-malu.
Setelah beberapa minggu, seiring berjalannya waktu, di pesantren aku pun mulai terbiasa hidup sendiri jauh dari keluarga. Mulai bergaul dengan teman-teman yang lainnya.
Di keheningan malam, dalam lamunanku, aku membayangkan mendengar suara serak ayah memanggil-manggil namaku, meski aku tak dapat berjumpa dengan ragamu meski wajahmu hanya menjadi bayangan semu, tapi namamu selalu ku sebut dalam baris do’aku, hadirmu selalu ku panggil ketika hening menyapaku, setiap nafas yang berhembus dan udara yang ku hirup, setiap detak kehidupan dan nadi yang berdenyut semua adalah tujuan pencarianku, entah kapan aku berhenti merindukanmu.
“Ploook” tiba-tiba Andi menepokku dari belakang, aku pun tersentak kaget.
“Hey, kenapa kamu melamun? Tanya Andi
“Aku lagi membayangkan sesosok ayah yang tak pernah aku kenal bahkan mungkin tak akan pernah” kataku.
“Lho kenapa gitu, memangnya dimana ayahmu? Tanya Andi heran.
“Iya, soalnya ayahku sudah tiada sejak aku masih bayi berumur 8 bulan”
“Oh ya, maaf yah, aku nggak tahu” pinta Andi
“Oh ya, nggak apa-apa kok” sahutku
“Sudahlah jangan melamun terus nanti kesambet lho, ayo tidur sudah malam” ajak Andi.
Aku pun beranjak dari tempat duduk menuju kamar untuk tidur. Aku rentangkan kasur, ku ambil bantal, lalu ku tarik selimut menutupiku rapat-rapat.
“Semoga aku bisa bertemu ayah walau hanya dalam mimpi” bisikku dalam hati.
Keesokan harinya aku dan Andi berangkat sekolah. Di sekolah aku belajar dengan penuh semangat, ku jalani hari-hariku dengan hati senang. Ku sembunyikan semua rasa sedih dan ku tutupi dengan hati gembira.

****
Delapan tahun kemudian, aku beranjak dewasa, dan aku pun telah menyelesaikan sekolahku di SMA. Aku sedih saat melihat ayah teman-teman yang lain datang saat wisuda SMA… Ayah, taukah engkau saat wisuda SMA , aku menangis sendirian? Mungkin aku lagi belum beruntung, saat itu aku harap ayah menghadiri acara sekolah ku dan mewakiliku ketika aku menjadi siswa berprestasi. Namun, itu hanyalah khayalan yang tiba-tiba datang di pikiranku! Sangat sadis mengingat itu semua, apakah ayah tahu betapa aku ingin membuat mu bangga!
“Kenapa kamu bersedih? Tanya Andi.
“Aku hanya sedih disaat wisuda ini ayah tidak ada untuk mendampingiku”
“Yang sabar yah, jangan patah semangat, ambil hikmahnya saja” kata Andi.
“Iya sabar sih sabar, tapi aku tak kuasa menahan kerinduan ini” kataku sedih.
“Iya tapi dibalik semua ini pasti ada hikmahnya, jadi kita ambil hikmahnya saja” kata Andi.
“Iya, mungkin ini sudah menjadi jalanku”
“Jadi semua ini sebagai motivasi untuk melangkah ke jenjang yang lebih baik lagi” kata Andi memberi support.
“Iya Andi, terimakasih yah, sudah memberi aku support”
Kadang ku merasa iri jika melihat teman-temanku mempunyai keluarga yang utuh dan bahagia. Tapi apa daya aku hanyalah seorang anak yatim yang ingin merasakan hangatnya kasih sayang seorang ayah.
Ayah… Lihatlah aku yang telah menjadi laki-laki dewasa dan tegar! Kini, aku mengerti arti sebuah kasih sayang yang tak terganti dengan uang dan barang!
Ayah…kau yang selalu menjadi misteri dalam hidupku, meski ku tahu kehangatanmu mengalir lembut di pembuluh darahku.
Ayah…sebentar lagi aku akan melanjutkan hidup ke jenjang yang baru, mewujudkan mimpi yang telah lama aku rajut. Aku akan terus berlari tanpa lelah tanpa henti.
Andai kau tahu ayah, ibu selalu ada disampingku saat aku bersiaptuk terbang ke langit, berusaha menguak rahasia dibalik biru yang merentang, menemukan apa yang kucari dalam hidup.
Ayah…kuharap engkau melihat semua perjuanganku dan bangga kepadaku. Tanpamu, kekuatan untuk berdiri tegap ini tak akan pernah bisa ku rengkuh.
Ayah…aku selalu menanti akan kehadiranmu, walau hanya sebatas mimpi.

SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Raja Yang Sombong

Raja Yang Sombong Oleh Muhammad Rosidin . “ H a…ha…ha…akulah sang raja yang paling hebat, akulah sang penguasa…tak seorang pun...