Ayah Tak Dikenal
AYAH,
sesosok yang tidak pernah bahkan mungkin tidak akan pernah aku kenal. Sejak
kecil ku tak pernah tahu seperti apa ayahku, bertahun-tahun ku menunggu akan
kehadiran sesosok laki-laki yang dulu kuharapkan menjadi laki-laki pertama yang
aku kenal, tapi sepertinya sosok itu tak akan pernah muncul di hadapanku…dan
selamanya juga aku tak akan pernah punya sosok yang bisa aku panggil AYAH.
Ku
lihat teman-teman yang lain bahagia dengan ayahnya. Bercanda bersama, tertawa
bersama, aku pun terdiam dalam lamunan, dalam benak ku bertanya-tanya siapa dan
dimana ayahku.
Sebenarnya
amat sangat sulit untuk ku meredakan keinginan tuk merengkuh seseorang yang
hanya berputar-putar dalam angan.
Saat
itu ku lihat ibu sedang bekerja keras sendirian mencari uang demi menghidupi
anak-anaknya, kemudian kudekati ibu dan bertanya-tanya kepada ibu.
“Bu,
kenapa ibu selalu sendirian mencari uang, dimana ayah bu? Tanyaku dengan rasa
penasaran
“Ayahmu
sedang mengaji nak” jawab ibu
“Ngaji
dimana bu, kok nggak pulang-pulang? Tanyaku heran
“Ayahmu
sedang ngaji di tempat yang jauh” kata ibu
“Kapan
ayah pulang bu, aku ingin tahu seperti apa ayahku bu”
“Ayahmu
tidak akan pulang lagi nak, ayahmu sudah senang dan bahagia disana” kata ibu
“Apa
ibu punya foto ayah? Tanyaku
“Dulu
punya, tapi sudah hilang” kata ibu
“Nak,
meskipun ayah tidak ada disamping kita, tapi kita jangan lupa mendo’akannya yah
nak”
“Iya
bu, aku akan selalu mendo’akannya” jawabku dengan lugunya.
Setiap
ku bertanya tentang ayah pasti ibu selalu menjawab dengan jawaban yang sama.
Meski betapa ingin aku bercakap-cakap dengan ayah, duduk bersama, bercanda
bersama, tertawa bersama, tetap saja itu hanya seberkas cahaya yang bersinar
redup jauh dalam lubuk hati.
Saat
ku beranjak ke kelas 4 SD, dengan mata berlinang air mata, ibuku menceritakan
segalanya tentang ayah.
“Nak,
sini ibu mau ngomong” panggil ibu
“Iya
bu” sahutku
“Nak,
sebenarnya ayah kamu itu sudah tiada sejak kamu masih berumur 8 bulan” kata ibu
Aku
tak kuasa menahan air mataku saat mendengarkan cerita ibu.
“Dulu
ayah kamu meninggal karena penyakit komplikasi saat kakak-kakakmu masih
kecil-kecil” cerita ibu sambil meneteskan air mata.
Aku
hanya bisa diam dan menangis mendengar semua cerita ibu.
“Sudah
kamu jangan menangis lagi, yang penting kamu jangan lupa untuk selalu
mendo’akan ayahmu nak” pinta ibu.
“Lalu
dimana makam ayah bu? Tanyaku
“Ayahmu
dimakamkan di Lampung, nak”
“Lho
kok di Lampung bu”
“Iya
nak, dulu rumah kita kan di Lampung, tapi setelah ayahmu tiada, ibu sama kakak-kakakmu
pindah ke jawa ke rumah orang tua ibu, waktu itu kamu masih bayi nak” jelas
ibu.
Aku
pun mengangguk dalam kesedihan yang tak berujung, serasa tercabik-cabik hati
ini saat mendengar bahwa ayah telah tiada.
Beberapa
hari kemudian, ku lihat ibu sedang menyapu halaman, kudekati ibu untuk meminta
izin untuk menuntut ilmu di pesantren.
“Bu,
aku mau minta izin untuk mencari ilmu di pesantren, boleh bu”
“Apa
kamu yakin ingin ke pesantren, nak, kamu kan masih kecil, terus sekolah kamu
gimana? Tanya ibu
“Iya
bu, aku sudah yakin bu, aku ingin belajar ilmu agama sejak kecil bu, biar besok
kalau sudah besar bisa selalu kirim do’a buat ibu dan ayah, disana juga bisa
sambil sekolah bu”
“Pesantren
mana nak? Tanya ibu
“Cilacap
bu” jawabku
“Iya
boleh, mau berangkat kapan, nak? Tanya ibu
“Besok
bu” jawabku
“Iya
besok minta antar pamanmu yah” kata ibu
“Salim
besok antarkan Udin ke pesantren bisa nggak? Tanya ibu ke paman
“Insya
allah bisa mba, pesantren mana mba? Tanya paman Salim
“Cilacap
Lim” jawab
Keesokan
harinya aku di antar paman ke pesantren.
“Bu,
aku pamit dulu yah bu” kataku sambil mencium tangan ibu.
“Iya
nak, hati-hati disana yah nak, jangan nakal, nurut sama pak yai nanti yah, ibu
do’akan semoga kamu jadi anak yang soleh, berbakti kepada orang tua”
“Amiin,
terimakasih bu atas do’anya”
“Assalamu’alaikum
bu”
“Wa’alaikumsalam”
Sesampainya
di pesantren, paman langsung menuju tempat pendaftaran santri baru. Setelah
beberapa menit kemudian paman selesai mendaftarkanku dan mengantar ke kamar
yang akan aku tempati.
“Kamu
baik-baik disini yah, jangan nakal, nurut sama pak yai dan pengurus disini yah,
paman mau pulang dulu” kata paman
“Iya
paman, terimakasih” kataku sambil mencium tangan paman.
Saat
hari pertama di pesantren aku mulai berkenalan dengan teman-teman.
“Hai,
namaku Andi, nama kamu siapa? Tanya Andi
“Namaku
Udin” jawabku malu
Setiap
malam aku masih teringat dengan ibu di rumah, kadang masih suka nangis
diam-diam. Masih malu-malu untuk bergaul dengan teman yang lain, mau makan
ataupun jajan juga masih malu-malu.
Setelah
beberapa minggu, seiring berjalannya waktu, di pesantren aku pun mulai terbiasa
hidup sendiri jauh dari keluarga. Mulai bergaul dengan teman-teman yang
lainnya.
Di
keheningan malam, dalam lamunanku, aku membayangkan mendengar suara serak ayah
memanggil-manggil namaku, meski aku tak dapat berjumpa dengan ragamu meski
wajahmu hanya menjadi bayangan semu, tapi namamu selalu ku sebut dalam baris
do’aku, hadirmu selalu ku panggil ketika hening menyapaku, setiap nafas yang
berhembus dan udara yang ku hirup, setiap detak kehidupan dan nadi yang
berdenyut semua adalah tujuan pencarianku, entah kapan aku berhenti merindukanmu.
“Ploook”
tiba-tiba Andi menepokku dari belakang, aku pun tersentak kaget.
“Hey,
kenapa kamu melamun? Tanya Andi
“Aku
lagi membayangkan sesosok ayah yang tak pernah aku kenal bahkan mungkin tak
akan pernah” kataku.
“Lho
kenapa gitu, memangnya dimana ayahmu? Tanya Andi heran.
“Iya,
soalnya ayahku sudah tiada sejak aku masih bayi berumur 8 bulan”
“Oh
ya, maaf yah, aku nggak tahu” pinta Andi
“Oh
ya, nggak apa-apa kok” sahutku
“Sudahlah
jangan melamun terus nanti kesambet lho, ayo tidur sudah malam” ajak Andi.
Aku
pun beranjak dari tempat duduk menuju kamar untuk tidur. Aku rentangkan kasur,
ku ambil bantal, lalu ku tarik selimut menutupiku rapat-rapat.
“Semoga
aku bisa bertemu ayah walau hanya dalam mimpi” bisikku dalam hati.
Keesokan
harinya aku dan Andi berangkat sekolah. Di sekolah aku belajar dengan penuh
semangat, ku jalani hari-hariku dengan hati senang. Ku sembunyikan semua rasa
sedih dan ku tutupi dengan hati gembira.
****
Delapan
tahun kemudian, aku
beranjak dewasa, dan aku pun telah menyelesaikan sekolahku di SMA. Aku sedih
saat melihat ayah teman-teman yang lain datang saat wisuda SMA… Ayah, taukah
engkau saat wisuda SMA , aku menangis sendirian? Mungkin aku lagi belum
beruntung, saat itu aku harap ayah menghadiri acara sekolah ku dan mewakiliku
ketika aku menjadi siswa berprestasi. Namun, itu hanyalah khayalan yang
tiba-tiba datang di pikiranku! Sangat sadis mengingat itu semua, apakah ayah tahu
betapa aku ingin membuat mu bangga!
“Kenapa
kamu bersedih? Tanya Andi.
“Aku
hanya sedih disaat wisuda ini ayah tidak ada untuk mendampingiku”
“Yang
sabar yah, jangan patah semangat, ambil hikmahnya saja” kata Andi.
“Iya
sabar sih sabar, tapi aku tak kuasa menahan kerinduan ini” kataku sedih.
“Iya
tapi dibalik semua ini pasti ada hikmahnya, jadi kita ambil hikmahnya saja”
kata Andi.
“Iya,
mungkin ini sudah menjadi jalanku”
“Jadi
semua ini sebagai motivasi untuk melangkah ke jenjang yang lebih baik lagi”
kata Andi memberi support.
“Iya
Andi, terimakasih yah, sudah memberi aku support”
Kadang
ku merasa iri jika melihat teman-temanku mempunyai keluarga yang utuh dan
bahagia. Tapi apa daya aku hanyalah seorang anak yatim yang ingin merasakan hangatnya
kasih sayang seorang ayah.
Ayah…
Lihatlah aku yang telah menjadi laki-laki dewasa dan tegar! Kini, aku mengerti
arti sebuah kasih sayang yang tak terganti dengan uang dan barang!
Ayah…kau
yang selalu menjadi misteri dalam hidupku, meski ku tahu kehangatanmu mengalir
lembut di pembuluh darahku.
Ayah…sebentar
lagi aku akan melanjutkan hidup ke jenjang yang baru, mewujudkan mimpi yang
telah lama aku rajut. Aku akan terus berlari tanpa lelah tanpa henti.
Andai
kau tahu ayah, ibu selalu ada disampingku saat aku bersiaptuk terbang ke
langit, berusaha menguak rahasia dibalik biru yang merentang, menemukan apa
yang kucari dalam hidup.
Ayah…kuharap
engkau melihat semua perjuanganku dan bangga kepadaku. Tanpamu, kekuatan untuk
berdiri tegap ini tak akan pernah bisa ku rengkuh.
Ayah…aku
selalu menanti akan kehadiranmu, walau hanya sebatas mimpi.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar